Selamat Datang

Jangan kita letih melakukan kebaikan kerana letih akan hilang sedang kabaikan dicatat berterusan, Ingat, jangan kita seronok melakukan dosa dan maksiat kerana seronok akan hilang, sedang dosa dicatat berterusan. Saidina Ali Karramallahu wajhu

Sabtu, 5 Mac 2011

KITA MESTI INGAT DALAM DUNIA ADA BANYAK SANGAT CABARAN DAN DUGAAN YANG PERLU KITA HADAPI. sELAGI KITA INI MANUSIA BEGITULAH ATURANNYA SEHINGGAAH KITA BERTEMU DENGAN SUATU PER KARA YANG DINAMA AKAN IA MATI. JANGAN PULA KITA INGAT MATI ITU PENGHUJUNG SEGALA-GALANYA, TETAPI IA ADALAH PERMULAAN KEPADA ALAM YANG LEBIH ABADI DAN KEKAL SELAMA-LAMANYA. SAAT ITU PASTIKAN TIBA CUMA YANG MEBEZAKANNYA HANYALAH MASA KITA DI AMBIL KE SANA UNTUK ITU KITA MESTI LAH BERSEDIA MENGHADAPINYA SUPAYA KITA TIDAK MENYESAL DI MANA HARI ITU TIDAK ADA LAGI GUNANYA PENYESALAN YANG MENGGUNUNG SEKALIPUN. APA YANG PASTI DI SAAT ITU NANTI KITA TAK DAPAT LAGI KEMBALI KE SINI.

LAYAR KEHIDUPAN –Muhammad Azhar Rasli

Hidup ini

Kita ibaratkan sebagai sebuah bahtera,

Yang sedang belayar di tengah samudera,

Perlahan-lahan, dalam gerakan yang sementara,

Menuju ke negeri yang selama-lamanya,

Bahtera ini,

Kekadang belayar tenang,

Merentas laut yang terbentang,

Namun ada kalanya,

Ketenangan itu lenyap dan hilang,

Apabila datangnya gelora yang menjulang,

Apabila datangnya badai yang menghalang,

Maka bahtera ini kan bergoncang,

Memporak-perandakan isi dalamnya,

Maka gelisahlah segala penghuninya,

Lintang-pukang arah larinya,

Bila raja mula gelisah,

Maka terasul segala titah,

Apa yang diucap apa-apa entah,

Sehingga negeri musnah dan punah,

Bilaman raja terasa resah,

Semua rakyat jadi gelisah,

Makan tak kenyang, mandi tak basah,

Air di mata mula melimpah.

SENJA ITU- Mohammad Azhar Rasli

Petang hari itu,

Berdiri aku di anjung surau,

Mendongak langit tinggi,

Melihat sinar mentari petang,

Berbalam-balam di telan awan malam,

Cahaya kekuningan,

Di pingggir langit,

Ufuk sebelah barat,

Sangat indah, terlalu indah,

Padaku, sebagai seorang anak seni,

Keindahan yang tak mampu,

Untuk kuungkap di bibir,

Petang hari itu,

Terasa amat permai,

Meniti keagungan kuasa Ilahi,

Pada, dada langit yang luas terbentang,

Dengan pelbagai bentuk sang awan,

Yang menghias layar alam,

Burung-burung,

Tebang seiringan,

Menikamati kesegaran,

Redup petang itu,

Senja hari ini,

Sudah hampir ke penghujungnya,

Mungkinkah ada lagi, peluang untukku,

Meniti cerah hari esok.

SYAIR MENGENANG NASIB- Mohammad Azhar Rasli

Wahai semua umat manusia,

Usah kau ragu dan sambil lewa,

Kerana saat itu pastikan tiba,

Hanya masa yang berbeza,

Kita semua sudah mengerti,

Bahawa mati itu pasti,

Cuma apa yang bermain di hati,

Bagaimanalah keadaannya nanti,

Sudah memang fitrah dunia,

Kawan ketawa mudah dicari,

Kawam menangis seorang diri,

Manusia memang pandai berakata,

Terutamanya hal berkaitan harta,

Bukan kerana sesiapa jua,

Tetapi diri tamak haloba,

Jika hal berkaitan harta,

Sanggup mengaku saudara mara,

Tapi itulah perangai manusia,

Sudah habis madu dihisap,

Sepah dibuang merata-rata,

Waktu berharta bukan main baik,

Tangan dihulur berkali-kali,

Namun bila tiada apa,

Susah pula nak nampak muka,

Bukan kita hendak mengata,

Tapi itulah hakikat manusia,

Tika senang mengaku bersama,

Bila saat susah itu tiba,

Entah dirinya hilang ke mana,

Sekali lagi hendak kukata,

Bukan bertujuan untuk mencela,

Tapi hal ini terbukti nyata,

Malah terjadi di merata-rata.

SURATAN TAKDIR- Mohammad Azhar Rasli

Entah kemana,

Akan kubawa diri ini

Sedih sungguh rasanya hati,

Sudah jatuh ditimpa tangga,

Kerana perbuatan yang tercela,

Entah di mana salah dan silap,

Hatiku hampir kepada malap,

Sudah dihempap maruah diri,

Dikata pula bertubi-tubi

Apakan daya aku ini,

Sebatang tubuh daging sekepal,

Ibarat durian dengan mentimun,

Dihempap binasa, menghempap binasa,.

Di mana lagi akan kucari,

Apa yang dinamakan sahabat sejati,

Yang ada hanya memilukan hati,

Luka di tangan nampak berdarah,

Luka di hati siapa tahu,

Kerana kata lidah lembut itu,

Terasa sangat menusuk kalbu,

Terbakar kampung nampak asap,

Terbakar hati siapa tahu,

Macam-macam telah kupendam,

Di lubuk hati ini,

Sedih rasanya, dipakah bertubi-tubi,

Dijadikan bahan menggelikan hati,

Entah apa yang difikir mereka,

Mungkin berhibur semata-mata,

Tapi berhiburlah berpada-pada,

Sampai menyesa hati dan jiwa,

Malah mendatangkan rasa perit dan kecewa,,

Malas rasanya hendak bersemuka,

Kerana lidah yang terkadang celaka,

Dalam menutur butir bicara,

Setelah jauh kurenung,

Entah apa kesudahannya,

Entah di mana,

Akan kudamparkan diri ini,

Dibenci oleh kawan dan lawan,

Ke mana pergi dicemuh semata,

Bagai melukut di tepi gantang,

Masuk tak bertambah,

Keluar tak kurang,

Mungkin itulah yang mereka fikirkan,

Terhadap hamba yang kerdil ini,

Duhai sahabat duhai saudara,

Berhati-hatilah dalam berkata,

Kerana kata badan binasa,

Kerana pulut santan binasa,

Lidah lembut tidak bertulang,

Mudah sahaja untuk bertutur,

Tapi kena kau ambil kira,

Apa yang lahir di lidah itu,

Jangan sampai, kata terjadi dosa,

Sampai hatiku rasa terseksa,

Kerana kata yang mungkin kaukira, bergembira,

Dalam mempermain jiwa manusia,

Di dalam alam dunia yang fana,

Fikir-fikirkalah wahai sahabat,

Kita di dunia tidaklah lama,

Mungkin esok ataupun lusa,

Kita bakal balik ke sana,

Saat itu apabila tiba,

Barulah diri rasa berdosa,

Kerana terlalu banyak berkata,

Kata yang selalu mendatangkan dosa,

Wahai kawan-kawan semua,

Di saat itu tiada guna,

Harta dan juga saudara mara,

Jikalau ada amal dan taqwa,

Itulah hanya pembela jiwa.

Pembuat Kendi dan Pengrajin Emas

Bertahun-tahun yang lampau di salah sebuah kota , tinggal seorang pengrajin emas dan seorang pembuat kendi. Perajin emas itu seorang materialis dan pecinta harta. Oleh sebab itu, dia senantiasa berusaha dengan segala cara untuk mendapatkan harta dan kekayaan. Semua orang tahu bahwa dia tidak mengindahkan kejujuran. Sebaliknya, pembuat kendi adalah seorang mukmin dan pekerja keras. Dia dicintai oleh masyarakat. Setiap orang yang memiliki problema akan datang meminta bantuannya. Si perajin emas berfikir, mengapa warga kota begitu menyintai pembuat kendi, padahal dia tidak memiliki harta benda. Menurutnya, cinta dan kasih sayang bisa diperoleh lewat tipu daya dan makar. Karena itu timbul rasa dengki si pengrajin emas terhadap pembuat kendi. Pada salah satu hari, sewaktu petugas kota mengejar pencuri di pasar, si pengrajin emas melihat bahwa saat itu adalah momen yang tepat untuk menuntaskan dendamnya terhadap pembuat kendi. Oleh sebab itu, dia menunjuk si pembuat kendi dan berbohong dengan mengatakan: Saya melihat pencuri masuk ke rumah lelaki ini. Petugas dengan segera memasuki rumah pembuat kendi dan ketika dia tidak menemukan tanda-tanda adanya pencuri, ia menyeret paksa pembuat kendi ke penguasa dan memintanya untuk menyerahkan si pencuri. Pembuat kendi bersumpah bahwa dia tidak mengetahui apa-apa. Tapi ada daya, ia tetap dijebloskan ke penjara. Selang beberapa hari kemudian, pencuri tersebut tertangkap dan sekaligus membuktikan bahwa pembuat kendi tidak bersalah. Diapun dibebaskan. Sebaliknya, pengrajin emas yang berbohong mendapatkan ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya. Setelah peristiwa itu, si pengrajin emas itu bukan hanya tidak menyesal atas tindakannya, tetapi malah semakin dibakar oleh api kedengkian terhadap pembuat kendi. Apalagi, dia menyaksikan bahwa si pembuat kendi semakin dicintai oleh masyarakat.

Dengki dan hasad sedemikian membakar jiwa dan hatinya sehingga dia mengambil keputusan yang berbahaya. Dia menyediakan racun dan memperalat seorang anak muda bodoh untuk meracun pembuat kendi dengan mengupahnya seratus keping emas. Hari yang ditetapkan pun tiba. Perajin emas menanti suara jerit tangis dari rumah pembuat kendi. Tetapi hal itu tidak terjadi. Sebaliknya pembuat kendi kelihatan sehat dan segar bugar seperti biasa.

Pengrajin emas merasa heran dan dengan segera dia mencari anak muda itu dan menyelidiki apa yang terjadi. Sadarlah dia bahwa bukan hanya si pembuat kendi itu tidak diracun, tetapi anak muda tersebut malah lari dari kota membawa seratus keping emas pemberiaannya. Ketika perajin emas ini mendengar berita itu, dia merasa sangat sedih. Begitu sedihnya sampai ia jatuh sakit. Tidak ada dokter yang bisa mengobatinya. Ya, karena memang tidak ada obat yang bisa menyembuhkan api dendam dan kedengkian. Lelaki pengrajin emas telah kehilangan segala-galanya dan dunia menjadi gelap baginya. Hal ini menyebabkan isteri dan anak-anaknya meninggalkannya. Berita kesendirian pengrajin emas yang sakit itu diketahui oleh tetangganya, si pembuat kendi yang baik hati. Dia berpikir, inilah waktunya untuk pergi mengunjungi pengrajin emas. Dia menyediakan makanan yang enak dan membawanya ke rumah perajin emas. Pengrajin emas, tidak dapat berkata apa-apa ketika melihat pembuat kendi. Pembuat kendi duduk di sisinya dan dengan lemah lembut menanyakan keadaan dirinya dan berkata: Aku datang karena memenuhi hakmu sebagai tetanggaku. Pengrajin emas menundukkan kepalanya karena malu. Pembuat kendi melanjutkan: Aku mengetahui segala apa yang berlaku pada masa lalu. Anak muda itu satu hari datang kepadaku dan memberitahu apa yang terjadi dan menyarankan supaya aku meninggalkan kota ini karena sudah tentu nyawa aku akan tidak selamat dari mu. Tetapi oleh karena aku berharap kepada rahmat dan karunia Ilahi, setiap hari aku berdoa untuk mu semoga dirimu dibebaskan dari rasa dengki dan hasad terhadapku. Kata-kata pembuat kendi menyebabkan pengrajin emas itu menangis. Pembuat kendi memegang tangan tetangganya dan berkata, “Sahabat ku, ketahuilah bahawa kedengkian laksana api yang membakar dan orang yang mula-mula dibakarnya adalah diri insan itu sendiri. Alangkah baiknya jika dalam masa yang pendek dan singkat di kehidupan dunia ini, kita saling kasih mengasihi sehingga kita meninggalkan nama yang baik. Tahukah engkau apakah rahasia kebaikanku di tengah masyarakat? Untuk mengetahui rahasia ini, aku ingin menyajikan sebuah kisah untuk mu. Pengrajin emas memasang telinganya untuk mendengar kisah tersebut dan dalam keadaan tersenyum yang tersungging di bibirnya, dengan penuh perhatian dia mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh pembuat kendi. Si pembuat kendi berkata; Pada suatu hari Imam Sajad as, berkata kepada salah seorang sahabatnya bernama Zuhri yang begitu sedih memikirkan segala yang muncul dari sifat hasad pada dirinya. Beliau berkata: “Wahai Zuhri, apakah salahnya jika engkau menganggap orang lain sama seperti saudara dan keluargamu sendiri, orang yang tua sebagai bapakmu, anak-anak sebagai anakmu dan orang yang sebayamu seperti saudaramu sendiri. Ketika dalam keadaan begini, bagaimana mungkin engkau berbuat zalim kepada orang lain? Janganlah engkau lupa pada hal ini bahwa orang lebih menyayangi siapa yang berbuat baik kepada orang lain. Jika metode yang begini engku teruskan dalam hidupmu, dunia akan menjadi tempat yang membahagiakanmu dan engkau akan mempunyai banyak kawan.

Kata-kata pembuat kendi itu sampai disini. Pengrajin emas berpikir jauh dan lahirlah rasa penyesalan di wajahnya. Dengan suara yang bergetar, dia meminta maaf atas segala yang terjadi di masa lalu. Kepada Tuhan dia berjanji bahwa selepas ini dia akan menggantikan rasa dengki yang memenuhi hatinya dengan kasih sayang dan persahabatan kepada orang lain.

Posted by Melasayang at 11:24:19 | Permanent Link | Comments (12) |

30 of November, 2005

KEMBALI KE HOME MELASAYANG

KEMBALI KE HOME MELASAYANG


07 of November, 2005

Kisah Tiga Budak Hitam

Tiga orang budak hitam berjalan-jalan di atas pasir di persisiran sebuah pantai. Tiba-tiba seorang dari mereka tertendang sebiji botol. Beliaupun mengambil botol tersebut. Botol tersebut tertutup rapat dengan penutup gabus. Kesemua mereka keheranan dan tertanya-tanya apa yang ada di dalam botol tersebut. Lalu salah seorang dari mereka pun membukanya. Terbuka sahaja botol tersebut, keluarlah jin yang amat besar.

Jin tersebut ketawa-terbahak-bahak lalu berkata " Siapakah engkau hai manusia yang telah membebaskan aku? Aku telah terkurung dalam botol ini selama 100 tahun. Dalam masa terkurung aku telah bersumpah akan memberikan 3 permintaan siapa yang membebaskan aku dari botol ini.. Nah! Sekarang kamu semua pintalah apa-apa, akan aku tunaikan permintaanmu"

Ketiga-tiga budak hitam itu mulanya terkejut tetapi bergembira apabila jin tersebut menawarkan untuk menunaikan permintaan mereka. Jin pun berkata kepada budak yang pertama, " Pintalah!" Budak hitam pertama pun berkata . "Tukarkanlah aku menjadi putih supaya aku kelihatan lebih gagah" Jin pun menunaikan permintaannya. Lalu budak itu pun menjadi putih. Jin pun berkata kepada budak hitam kedua,"Pintalah!".

Budak hitam kedua pun berkata ." Tukarkanlah aku menjadi putih dan kelihatan gagah, lebih putih dan gagah daripada budak yang pertama". Jin pun menunaikan permintaannya. Lalu budak itu pun menjadi putih dan gagah lebih dari pada budak yang pertama. Jin pun berkata

kepada budak hitam ketiga, "Pintalah!". Budak hitam ketiga pun berkata ."Tukarkanlah aku menjadi putih dan kelihatan gagah, lebih putih dan gagah daripada budak yang pertama dan kedua".

Jin pun berkata. " Tidak, permintaan itu tidak dapat aku perkenankan. Pintalah yang lain..." Budak hitam ketiga keheranan dan terfikir-fikir apa yang mahu dipintanya.

Setelah lama berfikir, budak hitam ketiga pun berkata " Kalau begitu, aku pinta kau hitamkan kembali rakan aku yang dua orang itu" Lalu jin pun tunaikan permintaannya. Kembalilah asal hitam kedua-duanya. Jin pun berlalu dari situ dan ketiga-tiga mereka tercengang-cengang dan tidak memperolehi sesuatu apa pun.

Moral:

Sikap dengki, cemburu dan irihati seringkali bersarang di hati manusia. Manusia tidak suka melihat orang lain lebih dari mereka dan mengharapkan mereka lebih dari orang lain. Mereka juga suka melihat nikmat orang lain hilang. Sikap ini sebenarnya pada akhirnya merugikan manusia sendiri. (Anonimous)

Tiada ulasan: